Lompat ke konten

Penerbitan Jurnal Ilmiah FISIP Rendah, Kualitas Penelitian Terhambat Jadwal Perkuliahan

Ilustrasi Ade/Perspektif
Ilustrasi Ade/Perspektif
Ilustrasi Ade/Perspektif

Malang, PERSPEKTIF –  Dalam Laporan Kinerja Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) Tahun 2015, frekuensi jurnal ilmiah yang diterbitkan jurnal internasional maupun nasional masih rendah. Selama tahun 2015, ada 23 jurnal ilmiah yang dihasilkan dosen FISIP. Dengan rincian, 17 jurnal internasional, 3 jurnal nasional dan 3 buah buku. Dalam laporan tersebut, pengembangan dan publikasi hjurnal dan hasil penelitian serta akses publik terhadap karya civitas akademika FISIP masih terbatas.

Salah satu dosen ilmu politik, Wawan Sobari menuturkan penelitian dosen saat ini terkendala pada rendahnya kualitas konten penelitian karena disebabkan waktu mengajar yang padat. “Bagi saya, memang, makin banyak kelas yang kita ampu, itu capek bagi dosen. Dan problem dari itu berdampak pada kualitas hasil penelitan, kualitas proposal penelitian. Kapan dosen punya waktu untuk membaca penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait,” keluhnya.

Hal senada juga disampaikan oleh ketua jurusan sosiologi Siti Kholifa. Ia mengeluhkan perihal tidak idealnya rasio dosen FISIP dengan jumlah mahasiswa yang ada, sehingga hal itu berdampak kepada kualitas penelitian dosen. Menurutnya, pembagian waktu dosen untuk meneliti terkendala dengan padatnya mengampu mata kuliah.

“Kalau di Sosiologi sendiri, tahun sebelumnya masih aman 1:30 tapi begitu kena mahasiswa angkatan 2015, buyar kita rasionya. Sekarang udah 1:45, karena yang lulus itu juga tidak sebanding dengan yang masuk,” ujarnya.

Dari data yang dihimpun Tim Litbang Perspektif, rasio dosen dan mahasiswa FISIP saat ini adalah 1:48. Rasio tersebut masih belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), yakni rasio 1:20 untuk ilmu eksak dan 1:30 untuk ilmu sosial. Selain itu, rasio dosen FISIP juga belum memenuhi standar Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti), yakni 1:30 untuk ilmu eksak dan 1:45 untuk ilmu sosial.

Ia menambahkan, bahwa sejak tiga tahun lalu jurusan sosiologi mengusulkan untuk mengurangi jumlah mahasiswa ke tingkat Fakultas, namun usulan itu tidak ditindaklanjuti. Karena dengan waktu mengajar yang padat, dosen tidak bisa maksimal dalam melakukan penelitian dan pengabdian. “Nah, konsekuesinya kalau sudah seperti itu tadi, maka penelitian kita ya jangan harap berkualitas, kan gitu toh akhirnya,” ungkapnya.

Di sisi lain, Ketua Gugus Jaminan Mutu, Asih Purwanti menjelaskan penelitian yang dilakukan dosen sudah cukup bagus. Hal ini berkaitan dengan penjaminan mutu penelitian yang dilakukan kemudian hasil penelitian diharapkan menjadi jurnal. “Memang harus bagus. Hasil penelitian itu kan nanti juga dibaca oleh mahasiswa. Nah, salah satunya kita merencanakan bahwa semua dosen yang meneliti harus ada output-nya, kalau kita menyebutnya laporan penelitian, melaksanakan penelitian kemudian melaporkannya,” terangnya.

Ditanya terkait kendala dalam penelitian, Asih menganggap kendala bisa bersifat personal maupun institusional. Menurutnya, kendala personal tiap dosen berbeda-beda. Sedangkan untuk institusional, menurutnya, fakultas sudah sangat mendukung, terutama dari segi pendanaan.

Mengenai publikasi jurnal ilmiah dan hasil penelitian dosen juga masih menemui kendala. Saat ini, FISIP masih dalam tahap proses pengembangan e-journal. “Kalau e-journal kita semua sudah mengembangkan karena itu istilahnya kan dosen juga butuh, tapi kan memang tidak mudah. Tapi beberapa jurusan dan FISIP juga punya jurnal interaktif dan sekarang juga diminta online juga,” tutur asih.

Senada dengan Asih, pengelola jurnal interaktif FISIP, Lukmanul Hakim menuturkan bahwa jurnal interaktif yang berfungsi untuk mewadahi hasil penelitian dosen tersebut sempat vakum dalam rentang waktu yang cukup lama. “Jurnal interaktif itu memang sempat lama mati, itu baru kita hidupkan lagi baru tahun ini. Edisi pertamanya ada di tahun 2013, dan tahun ini jadinya baru edisi yang ke tujuh,” tutur dosen ilmu pemerintahan tersebut.

Disorientasi Entrepreneurial University

Mengacu kepada arah pengembangan Perguruan Tinggi dan Lembaga Riset yang disusun dalam Rencana Pengembangan Pendidikan Tinggi tahun 2015-2019 oleh Dirjen Kelembagaan dan Kerjasama Ilmu Pengetahuan (DKKIP) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) mendorong Perguruan Tinggi untuk menuju Entrepreneurial University.

Perguruan Tinggi yang telah menyandang status Entrepreneurial University , jika mengacu kepada arah pengembangan Kemenristek-Dikti, merupakan tingkatan tertinggi dalam hal kemampuan melakukan penelitian. Melalui program ini, Kemenristek-Dikti mendorong universitas atau lembaga keilmuan lain meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitiannya.

Namun, menurut Siti Kholifa dengan status UB yang kini menyandang Entrepreneurial University, kemampuan UB dalam menghasilkan penelitian yang mempunyai nilai tambah masih kurang. Bahkan pemaknaan Entrepreneurial University di UB sendiri telah mengalami disorientasi. “Kalau entrepreneurial university, research kita itu sudah dipakai oleh pemerintah, oleh lembaga-lembaga terkait, untuk merancang kebijakan mereka, nah itu yang dikatakan entrepreneur. Kalau diluar negeri itu, udah kayak gitu semua, jadi bukan mahasiswa disuruh jualan,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa UB saat ini masih tergolong dalam kategori teaching university, di mana dalam sistem pengajarannya masih belum berbasis penelitian. “Misal saya ngajar soal gender, katakanlah ketika saya ngomong soal HIV/AIDS ini lho data-datanya, based on research saya, jadi bukan hanya based on literature yang saya baca, tapi itu based on research saya,” pungkasnya. (lta/shv/bmh)

(Visited 238 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?