Oleh : Rany Dewi Anjani*
Aku sedang dalam perjalanan pulang seusai kerja. Seperti biasa jalanan sore selalu tak ramah pada para pengendara. Pemandangan jalan penuh sesak dengan kendaraan, suara klakson saling berbalas, asap kendaraan hampir – hampir menutupi pandangan. Atau mungkin justru para pengendara yang tak ramah pada jalanan? Ah persetan. Pikiranku tak kalah semrawutnya dengan jalanan sore ini. Aku sendiri sudah terlalu pusing memikirkan apa yang diberitakan media akhir – akhir ini tentang intansi yang kupimpin. Anganku sudah terlalu lelah menerka banyak hal tentang kasus itu. Angan ini berputar – putar pada satu pertanyaan, “Bagaimana mungkin?”
Iya, bagaimana mungkin pegawai terdekat yang begitu kupercaya, tega melakukan tindakan licik dan hina terhadap Negara? Bagaimana mungkin aku lengah pada rencana mereka?
Kalau kalau aku lebih teliti dalam setiap detil yang diajukan padaku mungkin kejadian semacam ini tidak sedang kualami sekarang. Atau mungkin tetap terjadi hanya saja dengan bentuk kelicikan yang lain.
Suasana kantor tak lagi nyaman semenjak pengusutan kasus itu, hampir setiap hari sekelompok orang dari lembaga pengusutan kasus korupsi datang dan menggeledah berkas – berkas penting perusahaan. Suasana ini semakin rumit ketika kasus ini terendus oleh wartawan. Berita muncul di berbagai media, entah itu cetak, online maupun televisi. Setiap media berebut menjdikan kasus ini headline berita mereka. Satu sama lain berlomba menyajikan informasi terdalam dan terlengkap mengenai kasus ini. Dalam sekejap kasus ini menjadi isu nasional. Tak sedikit pula yang menjadikan kasus ini sebagai bahan perbincangannya. Baik dari diskusi yang diadakan LSM sampai obrolan santai tukang becak yang sedang menunggu penumpang. Semenjak itu, pintu masuk utama kantor tak pernah lagi terlihat lenggang. Bahkan sejam pun. Para petugas penyidik dan karyawan tak lagi nyaman melewati pintu utama, selalu was-was dan menghindar kalau kalau ada wartawan yang minta wawancara. Aku pun demikian, sering kali aku lebih memilih lewat pintu pantry belakang jika tak ingin berhadapan dengan para wartawan.
“ Pak? Pak menteri ndak apa – apa?,” tanya sopirku bernama Pak San, dari belakang kemudinya. Ah, buyarlah lamunanku. Aku sengaja diam seakan tak mendengar ucapannya. Untuk menunjukan aku sedang tak ingin diajak bicara. Yah, lamunanku. Meski memusingkan, terasa lebih nyaman daripada berbicara dengan orang lain sekarang.
“ Pasti Bapak lagi memikirkan kasus itu ya?” Rupanya dia tak menyadari maksud diamku.
“Sudahlah pak, saya yakin bapak tidak terlibat. Kalau bapak tidak terlibat, bapak akan baik – baik saja,” ucap pria paruh baya itu. Nyatanya, tidak sesederhana itu sekarang. Tidak terlibat bukan berarti tidak akan kecipratan imbasnya. Bahkan tidak hanya untuk perseorangan. Seluruh kementerian dan direktorat kecipratan citra buruk yang hanya disebabkan segelintir pegawai. Beberapa orang bahkan terkena imbas lebih dari itu.
Sebenarnya aku menyadari ada beberapa pihak yang sengaja mengambil keuntungan dari kondisiku saat ini. Terlebih beberapa instansi swasta yang selama ini merasa terkekang karena tak lagi dapat bebas meyogok aparat kami. Memang, semenjak tampuk kepemimpinan kupegang semua sistem ku rombak untuk menghindari segala macam kecurangan.
Banyak yang berubah, instansi ini menjadi lebih ‘bersih’ dan disiplin. Tak jarang kami mendapatkan berbagai penghargaan terkait kinerja. Walau aku menyadari di luar sana para pemilik modal mulai geram karena keran rupiah tak lagi selancar dulu. Aku sedikit khawatir mereka akan melakukan segala cara untuk menjatuhkanku. Sebagaimana yang dialami rekan – rekanku karena ketegasan mereka.
“Iya pak, terima kasih. Doakan saya ya, pak.” Aku memilih menjawab untuk menghargai pengabdiannya yang sudah masuk tahun keempat ini.
“Oh pasti saya doakan, pak. Tapi saya yakin kasus ini ujian buat bapak dan keluarga. Bapak juga harus pintar – pintar mendekatkan diri kepada yang memberi ujian biar diberi tahu solusinya,” tambahnya memberi wejangan. Soal mendekatkan diri dengan Tuhan, aku teringat perbincanganku dalam telepon dengan Ibu beberapa hari yang lalu.
“Ibu melihtamu di tv pagi ini. Kau tak apa, nak?” tanya ibuku membuka percakapan.
“Tak apa ibu. Ibu jangan khawatir,” jawabku berusaha menenangkan.
“Bagaimana mungkin ada ibu yang tidak khawatir mengetahui anaknya yang berada di situasi seperti ini,” jawab ibu tenang.
“Ampun bu. Ampun. Tidak bermaksud membuat ibu cemas. Ampuni anak ini juga karena telah membuat keluarga malu.”
“Orang yang mengaku keluargamu tidak akan merasa malu, nak. Karena tahu kau tak mungkin terlibat. Setidaknya dengan sengaja,” tutur Ibu dengan tenang dan lembut. Ah, aku merasa ada di pelukan ibu saat mendengar kalimat itu.
“Lalu apa yang kau pikirkan tentang kasus ini?” tanya ibu tiba – tiba.
“Banyak, bu. Banyak. Sulit berhenti memikirkan kasus ini bu. Seakan tak punya kuasa akan pikiran sendiri,” jawabku pada Ibu.
“Pernah kau sembahyang nak? Setidak – tidaknya berdoa?” tanya Ibu yang mengingatkanku betapa aku terlalu mementingkan dunawi selama ini.
“Ampun bu. Selama ini terlalu sibuk dengan pekerjaan. Selalu tak sempat sembahyang. Terlalu semangat mendalami peran di posisi ini,” jawabku penuh dengan penyesalan.
“Ah, kalau begitu kau kurang mendalami peran nak. Peran menjadi manusia,” tutur Ibu dengan terkekeh.
“ Ampuni anakmu ini bu. Ampun.” Tak sadar aku mulai menitikan air mata saat mengucapkannya. Rasanya jika Ibu ada di dekatku pada saat itu, ingin aku tidur dipangkuannya pada saat itu juga.
“Ah, nak, peranmu di jabatan itu paling lama hanya lima tahun. Tapi peranmu menjadi manusia nak, sampai nanti, sampai mati, bahkan ada yang bilang bisa abadi,” tutur Ibu lagi.
“Lalu apa yang harus dilakukan bu?” tanyaku terisak
“Nak, kalau kau yakin kau tak bersalah. Maka satu saat kau akan tak apa. Meski kau harus terluka dulu. Meski kau harus menunggu saat itu dulu. Kadang kau harus menunggu lebih lama. Selipkanlah doamu di sela sela waktumu. Perbaikilah peranmu menjadi manusia itu. Selagi kau menunggu,”
TTIIIIIINNNN
Suara klakson mobil ini tiba – tiba berbunyi. Mobil hampir menabrak pengendara sepeda yang menerobos lewat saat mobil hendak masuk pintu gerbang perumahan. Tiba – tiba ponselku berbunyi. Rupanya salah seorang rekan kerjaku menelepon.
“Halo?” ucapku.
“Hei, kau dimana?!” tanyanya dengan panik.
“Aku sedang menuju rumah. Ada apa?” tanyaku penasaran.
“Cepat kembali! Putar balik! Jangan pulang sekarang! Aku mendengar mereka menuju rumahmu!” teriaknya.
“Apa yang kau bicarakan? Siapa mereka?” ucapku panik. Belum sempat rekanku itu menjelaskan, aku melihat sekumpulan mobil polisi berjejeran parkir di depan rumahku. Seketika seluruh pandangan tertuju pada mobil kami. Seakan menunggu seseorang didalamnya keluar. Aku.
“Ada apa ini?” ucapku menyanyakan kepada mereka.
“Eh, kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, tetapi kami hanya ingin anda ikut kami ke kantor untuk diperiksa,” terang salah satu personil sambil menghampiriku.
“Tidak bisakah kalian, mengirim surat panggilan? Sebagai saksi, saya tidak akan lari. Saya akan selalu datang kapan pun kalian membutuhkan saya. Saya akan memberikan informasi apapun yang kalian butuhkan. Tapi tidak kah ini berlebihan? Kalian seakan hendak menjemput buronan dari sarang persembunyiannya. Saya tidak akan ikut dengan kalian!” ucapku dengan nada kesal.
“Sayangnya anda harus ikut, pak,” cetus seseorang yang baru saja keluar dari rumahku. Apa – apaan ini? Ada anak – anak di dalam rumah. Ini sungguh berlebihan.
“Anda kami jemput sebagai tersangka. Anda telah ditetapkan sebagai tersangka sejak sore ini. Dengan berat hati kami harus membawa anda untuk pemeriksaan lebih lanjut,” lanjutnya.
“Apa ? Tapi, tidak mungkin! Saya dapat membuktikan saya tidak bersalah di kasus ini,” ucapku membantah.
“Bukan kasus yang sebelumnya, pak,” Jawabnya.
“Kasus apa lagi?” tanyaku.
“Kasus sengketa tanah lima tahun lalu,” paparnya. Aku tertawa kecil melihat kekonyolan yang sedang kuhadapi saat ini. Rupanya para pemilik modal itu sudah menemukan cara untuk menjatuhkanku sekarang.
Malang, 2016
Tentang Penulis : Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2013 FISIP Universitas Brawijaya. Saat ini sedang berproses sebagai Pimpinan Divisi Marketing Komunikasi LPM Perspektif.