Oleh: Rifky Pramadani*
(Refleksi Hari Buku Nasional)
Budaya literasi, membaca dan menulis, adalah syarat yang diajukan John Dewey bagi berlangsungnya sebuah peradaban. Generasi akan terus berganti, yang tua akan digantikan oleh yang muda dan begitu seterusnya. Generasi muda wajib membaca kondisi dan struktur sosial yang ada sebelumnya. Bandul peradaban akan mandek ketika transisi generasi tak mampu membaca zaman yang terus bergerak.
Kita insaf bahwa keinginan untuk mengetahui banyak hal, bahkan, sudah dimulai sejak masih balita. Banyak hal yang ditanyakan oleh anak-anak akan terjawab dengan membaca buku. Beruntunglah mereka yang semasa kanak-kanak telah dididik untuk bertanya pada buku. Suluh yang mereka miliki disulut sejak dini guna membimbing mereka meninggalkan jalan gelap dan ketidaktahuan.
Sayangnya, sikap dan rasa ingin tahu khas kanak-kanak itu tak bertahan lama. Kebanyakan masyarakat Indonesia masih menganggap membaca buku adalah hal yang membosankan. Hal ini tidak terlepas dari anggapan bahwa membaca buku selalu berkaitan dengan kegiatan belajar. Membaca buku, tak jarang, diasosiasikan dengan hal-hal yang sifatnya memaksa. Alih-alih membaca buku, masyarakat kita lebih tertarik bermain-main dengan ponsel pintarnya.
Dari data Most Literate Nations in the World yang dirilis Central Connecticut University (2016) misalnya, Indonesia hanya menempati peringkat 60 dari 61 negara. Peringkat Indonesia hanya setingkat lebih baik diatas Bostwana. Bahkan, Indonesia masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia ataupun Singapura. Kalaupun harus memaklumi, alasan yang cukup logis adalah masyarakat kita masih merasa cukup dengan budaya lisan.
Ketakutan?
Indonesia, tampaknya, tak lagi tertarik untuk membangun peradaban melalui membaca buku. Ironisnya, di Hari Buku Nasional ini kita dibuat tertegun dengan razia dan pemusnahan buku-buku yang menjelaskan spektrum ideologi kiri dan kanan. Beberapa dekade silam, salah satu organisasi besar di Indonesia dituduh habis-habisan melakukan pembakaran buku. Tindakan demikian benar-benar menjadi malapetaka bagi pembangunan peradaban sekaligus pembangunan manusianya.
Pemberangusan buku hanya menunjukkan ketakutan pada ilmu pengetahuan. Padahal, proses transfer ilmu pengetahuan tak akan terjadi dengan mekanisme satu arah. Yang harus disadari adalah ilmu pengetahuan selalu bersifat kumulatif dan makin lama makin maju (Mughni, 2011). Artinya, ilmu pengetahuan tidak akan berhenti dan menjadi bagian inheren dari peradaban. Pemberangusan buku jelas akan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan sekaligus peradaban.
Selain itu, beberapa bulan lalu, kita juga disuguhi wacana pembangunan perpustakaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang nilainya lebih dari setengah miliar. Tentu saja wacana ini, meskipun layak diapresiasi karena anggota DPR berniat meningkatkan kualitas intelektualnya, konyol. Pembangunan gedung perpustakaan DPR jauh lebih menggiurkan ketimbang membangun budaya membaca itu sendiri. Indonesia sudah memiliki Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Pun, lokasinya juga tak jauh-jauh amat.
Sayangnya, kondisi obyektif hari ini tidak lagi menempatkan buku dalam pembangunan peradaban Indonesia. Sejarah mencatat, salah satu faktor kejatuhan Kesultanan Ottoman Turki adalah kesibukan mereka membangun istana ketimbang membangun pustaka. Pembangunan peradaban, sekali lagi, harus menempatkan budaya membaca, terutama membaca buku, sebagai prioritas.
Kondisi budaya literasi masyarakat Indonesia yang memprihatinkan ini direspon dengan kreatif oleh pemerhati dan aktivis-aktivis literasi. Kita wajib berterimakasih dengan kegiatan mereka, seperti membuka perpustakaan keliling, tersebar di beberapa kota dan kabupaten di Indonesia. Meski masih minim peminat, upaya membangun peradaban masih akan terus berlanjut.
Masihkah kita akan menganggap parameter tingginya peradaban hanya dari gedung dan bangunan?
Tentang Penulis:
*Penulis merupakan mahasiswa Hubungan Internasional angkatan 2013.