Oleh: Dinda M. Noor
“Mary, kenapa elu? gitu aja muntah, payah.”
Aku tak bisa menjawab celoteh Hani di tengah gemerlap lampu diskotik yang berayun di atas ruangan. Suara musik dengan beat tinggi semakin memenuhi ruangan yang sedari awal penuh sesak. Disesaki oleh manusia-manusia setengah sadar. Di sekeliling ruangan, bertebaran wanita-wanita berpakaian ketat dan terbuka. Pakaian punya fungsi lebih di masa ini, sebagai Lambang ke-modern-an yang begitu dipuja. Semakin terbuka semakin patut untuk dipuja.
Sebagian dari wanita-wanita ini masih berusia belia. Mereka akan terlihat mengenakan seragam putih abu-abu, atau mungkin biru putih, jika kau temui saat pagi atau siang hari. Sayangnya, aku adalah salah satu dari wanita-wanita ini. Di antara wanita-wanita tersebut, akan terlihat lelaki-lelaki yang wajahnya kemerahan, karena telah meneguk bergelas-gelas minuman keras sejak mereka tiba. Kerlingan mata si bartender seksi mungkin menjadi penyebab utama lelaki-lelaki ini, untuk berkali-kali memesan minuman.
Mereka semua, lelaki-lelaki dan wanita-wanita yang hati dan alam sadarnya telah melayang ke langit, asik meliuk-liukkan tubuhnya di tengah musik yang semakin tak berbatas. Tiada batasan sesenti pun antara para lelaki dan wanita yang bergoyang sambil mengikuti dentuman dari disc-jockey di ujung ruangan sana. Semua bergerak tanpa batas. Seperti yang kubilang tadi, semuanya memang setengah sadar.
Wanita-wanita belia itu mungkin tidak sadar, bahwa ada ibu mereka dirumah sedang cemas menunggu kepulangan putrinya dari kerja kelompok. Alasan klasik di Jumat malam. Tentu tidak akan ada ibu yang menghalangi buah hati tercantiknya, untuk menimba ilmu meski di malam hari. Alasan klasik yang ampuh. Tapi tidak denganku, aku bisa melangkah dengan tenang tanpa harus berbohong kepada ibu. Itu karena ibu punya jadwal tidur yang terlalu cepat. Terlalu cepat, hingga ia tidak tahu apa yang dilakukan anak gadisnya di malam hari seperti ini.
Wanita-wanita belia itu mungkin tidak sadar tangan-tangan siapa saja yang sudah mendarat di tubuh elok mereka. Berapa pasang mata yang sudah memandangi setiap senti liukan tubuh mereka dalam tatapan buas tak tertahan? Hidung-hidung mana saja yang sudah menghirup aroma keringat bercampur parfum mahal di tubuh mereka? Mungkin. Tak usah tanya padaku, aku bahkan tidak tahu jengkal mana lagi yang tak bersentuhan dengan orang lain saat bergoyang mengikuti irama.
Wanita-wanita belia itu tentu tidak sadar akan uang siapa dan berapa uang. Uang siapa yang mereka sodorkan di meja panjang bartender bertubuh kekar dan berapa uang totalnya. Aku tertawa kecil.
“Sama sepertiku,” pekikku dalam hati.
Kuarahkan pandanganku ke objek lain, ke para lelaki. Mereka lebih parah tidak sadarnya dibanding yang wanita. Para lelaki ini mungkin tidak sadar akan keberadaan wanita yang sedang menunggu mereka di rumah, entah ibu atau istri mereka. Untuk yang satu ini, mereka sepertinya sengaja tidak sadar.
Lelaki-lelaki ini, yang berusia tua tentunya, mungkin tidak sadar bahwa wanita-wanita di kanan kiri seusia dengan putrinya.
“Mary, elu duduk disini dulu ya. Gue mau gabung lagi,” ujar Hani kepadaku sambil setengah berteriak untuk mengimbangi suaranya dengan dentuman keras musik. Kukibaskan tanganku kearahnya sebagai isyarat untuk membiarkannya pergi. Sementara tubuhku, kuhempaskan ke sandaran sofa. Mual yang kurasakan tadi perlahan sirna, namun berganti dengan puluhan kunang-kunang yang menari di hadapan mataku.
Aku merasakan sesuatu terjadi pada tubuhku. Sofa yang kududuki melayang ke udara. Semakin lama semakin meninggi, semakin lama semakin semakin bercahaya. Hingga akhirnya, aku berada tepat di atas diskotik yang atapnya terbuka, dengan cahaya pekat di sekitarku. Dari atas sini bisa terlihat dengan jelas seluruh penjuru diskotik. Mataku sedikit menyipit untuk menerawang setiap sudutnya. Kututup mataku sambil tertawa karena menganggap semua ini hanya efek kuat dari minuman beralkohol yang tadi kuminum. Tapi tidak begitu, aku tetap berada di atas sini meski sudah berkali-kali mengusap mataku. Tak tahu harus apa, kusisiri seluruh sudut diskotik dengan pandanganku. Hingga tiba di satu sudut, tubuhku bergetar hebat dan seketika memucat. Aku melihat ibuku di sana, dengan pakaian yang tak kalah ketat dan terbuka di banding aku. Dengan dempul tebal di wajahnya serta sebuah sigaret terselip di jarinya yang lentik. Tak kulihat cincin kawin ibu di tangannya. Ia duduk di sebelah pria tambun dengan rantai emas tebal menggantung di lehernya. Mereka duduk berdempetan tanpa ada jarak sebutir pasir pun. Kulihat ibu tengah menggoda pria itu. Aku mual kembali, kubuang jauh-jauh pandanganku dari mereka berdua.
Tak sengaja pandanganku menangkap sesuatu. Bak elang di pelupuk langit, kupertajam mataku untuk melihatnya lebih jelas. Jantungku serasa melompat ke tenggorokan. Aku tercekat dan mual semakin menjadi-jadi. Sesuatu berlinang di pelupuk mata. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menahannya, tapi aku kalah. Tetesan demi tetesan mengalir dengan deras. Aku menangis sejadi-jadinya hingga keram menimpa perutku. Tapi aku tak kunjung berhenti. Suara tangisku serasa membelah-belah cahaya pekat di sekitarku, tapi tak seorangpun di diskotik itu mendongak ke atas.
Aku menangis karena melihat ayahku. Ayahku ada di sudut lain diskotik ini. Dari yang kulihat, kemeja yang dipakainya belum berganti dari kemeja tadi pagi saat aku mencium tangannya sebelum berangkat sekolah. Namun, perawakannya berbeda. Lengan kemeja itu digulung, dasi yang melingkar dilehernya di longgarkan, sebersit noda lipstik melekat di kerahnya. Di kanan kirinya terdapat dua orang gadis belia seusiaku. Aku kenal salah seorangnya, ia teman sekelasku. Mungkin noda lipstik tadi berasal dari bibir mereka.
Air mataku mengalir tanpa segan, tanpa ada tanda-tanda akan bersudah. Tiba-tiba aku tersadar. Ingat wanita-wanita belia yang kupaparkan dengan sinis ketidaksadaran mereka? Aku adalah salah satunya. Ingat wanita-wanita berumur yang kucaci ketidaksadaran mereka? Ibuku adalah salah satunya. Ingat Lelaki-lelaki yang kujijikkan ketidaksadaran mereka? Ayahku adalah salah satunya.
Air mataku berhenti seketika tanpa ada aba aba. Tangisku berhenti dan digantikan tawa. Tawa paling keras sepanjang hidupku. Aku memang seharusnya tidak harus perlu bersedih. Karena aku sudah berada di rumah. Bukankah dimanapun ada adalah rumah asalkan satu keluarga berkumpul bersama. Aku, ayahku dan ibuku ada disini. Ini rumah kami. Aku akan menikah disini, membesarkan anak-anakku disini dan akan pula disemayamkan disini saat aku mati.
Cahaya putih di sekelilingku berganti hitam dalam sepersekian detik. Sofa merah ini meluncur ke tempat asalnya. Cengkramanku pada sofa merah itu mematahkan kuku cantikku. Tubuhku tersentak hebat dan kubuka mata perlahan seolah-olah aku baru saja pingsan. Hani berjalan sempoyongan ke arahku.
“Ayo pulang,” ujarnya datar.
Kugelengkan kepala dan berkata, “Aku sudah pulang, ini rumah.”
Tentang Penulis:
Penulis merupakan Mahasiswi Hubungan Internasional angkatan 2015 FISIP Universitas Brawijaya. Saat ini penulis aktif berproses di LPM Perspektif.