Malang, PERSPEKTIF – Konsep Eco-Green Campus telah dicanangkan oleh Universitas Brawijaya (UB) sejak tahun 2015 lalu. Namun, pelaksanaan konsep ini tampaknya masih terkesan setengah-setengah. Pembangunan fisik masih terus berjalan dan belum sesuai dengan konsep Eco-Green Campus.
Dari data yang dihimpun PERSPEKTIF, pembangunan fisik dengan skala besar masih terus berjalan. Tak jarang pembangunan yang dilakukan memakan lahan hijau. Misalnya, pembangunan parkiran di samping Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menggunakan lahan yang sebelumnya merupakan lapangan sepakbola.
“Kalau dilihat dari sisi pembangunan fisik,memang kita masih sangat jauh dari implementasi Eco-Green Campus. Pembangunan yang terus memakan lahan memang tidak sesuai dengan konsep Eco-Green Campus,” tutur dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) I Nyoman Suluh Wijaya pada Rabu (16/03) pagi.
Disinggung mengenai strategi untuk mewujudkan konsep, ia menyatakan sampai saat ini secara praktis UB belum memilikinya. “Sampai sekarang, meskipun sudah punya konsep Eco-Green Campus, tapi secara praktis kita masih belum punya strategi yang bisa diaplikasikan untuk mewujudkan konsep,” ungkap Nyoman Suluh.
Nyoman menambahkan pembangunan yang terus dilakukan UB tersebut harusnya juga diimbangi dengan penambahan lahan hijau ataupun Ruang Terbuka Hijau (RTH) seperti dengan penanaman-penanaman pohon. Namun, ia mengatakan selama ini UB belum memiliki perencanaan pengembangan RTH. Rancangan masterplan pembangunan yang sesuai konsep Eco-Green Campus pun baru akan dirancang tahun ini.
Mengenai luas RTH, Nyoman Suluh mengaku belum mengetahui secara pasti luas RTH yang dimilik oleh UB. Menurutnya, proporsi yang ideal dari RTH menjadi salah satu indikator dalam mencapai Eco-Green Campus, presentase untuk RTH yang ideal adalah 30%.
Berbeda dengan Nyoman Suluh, Budi Sugiarto Waloeya mengungkapkan sebenarnya pembangunan di UB masih sejalan dengan konsep Eco-Green Campus. Hal tersebut karena menurutnya pembangunan di UB menggunakan prinsip ‘Compact City’.
“Jadi, secara fisik pembangunan tersebut tidak mengalami ekspansi lahan karena pembangunan dilakukan secara vertikal atau ke atas. Kalau dalam perencanaan kota, hal tersebut istilahnya ‘Compact City’,” terangnya pada Jumat, (11/03) ketika ditemu di ruang dosen Program Studi PWK.
Lebih lanjut, Budi menuturkan pembangunan gedung memang diperlukan seiring meningkatnya jumlah mahasiswa. Sebab, jumlah mahasiswa yang semakin banyak menuntut penambahan jumlah gedung seperti untuk perkuliahan dan laboratorium.
Budi menambahkan jika UB ingin konsep Eco-Green Campus berjalan sepenuhnya, maka UB harus lebih berkomitmen. Komitmen ini bisa dibuktikan dengan tidak berhenti sampai tahap Compact City dan berlanjut hingga Green City.
“Kalau mau jadi Green Campus silakan, tapi jangan berhenti sampai tahap konsep ‘Compact City’ saja. Itu baru salah satu tahap dari Green City. Bisa dilanjutkan dengan adanya penambahan taman-taman kampus, Green Building, dan UB bisa memulai mencanangkan membuat Green Roof yang bisa menyerap sinar matahari,” tegas Budi.
Sementara itu, Wakil Rektor IV UB Moch. Sasmito Djati menolak anggapan pembangunan yang dilakukan bertolak belakang dengan konsep Eco-Green Campus. Menurutnya, pembangunan yang terjadi memang masih belum menggunakan konsep Eco-Green Campus.
“Gedung-gedung kita memang sebagian besar secara fisik belum green. Tapi kalau dibongkar semua agar green juga bukan green, karena membutuhkan biaya yang mahal,” ujar Sasmito. Lebih lanjut ia menuturkan konsep Eco-Green Campus ini tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, melainkan kesadaran civitas akademika UB. (ank/kmb)