Oleh: Lalu Imaduddin Arifin*
Pemilu Mahasiswa sudah di depan mata, dan hal yang umumnya mengganggu saya seperti biasa mendapat tempatnya di podium. Baliho berukuran megatron mulai bertebaran.
Kalau ke kampus, saya seringnya jalan kaki kalau tidak dapat tumpangan. Pada musim-musim pemilu, berangkat ke kampus berjalan kaki seperti sedang melewati ladang ranjau. Sepersekian kejap mata, kampus berubah menjadi tanah lapang di Kamboja. Ranjau yang tidak pernah bisa dijinakkan berada tepat di garis mata. Mengapa setiap tahunnya, pikir saya, baliho-baliho berukuran megatron ini selalu mengganggu pandangan saya. Kalau saya mengeluh, orang akan gampang saja bilang, “Ya jangan dilihat”. Jawaban yang menyedihkan. Tidak pernah ada argumen yang solutif terhadap peristiwa baliho-baliho iklan kampanye ini. Ujung-ujungnya selalu eskapis. Berakhir dengan, “Yaudah biarin aja sih, hak mereka juga”.
Logika seperti ini banyak saya temui di kampus. Jawaban eskapis berciri pragmatis ini bertebaran banyak sekali di benak-benak mahasiswa kampus saya. Mengapa harus dibiarkan? Saya melihat baliho-baliho tersebut sebagai sebuah banalitas yang dipamerkan –untuk tidak menyebutnya sebagai sampah visual. Apa bedanya calon-calon wakil mahasiswa itu dengan calon-calon wakil rakyat yang pada pemilu lalu mengiklankan ketololannya masing-masing. Kita boleh saja mengatakan baliho-baliho calon wakil mahasiswa itu tidaklah bisa disamakan dengan iklan-iklan calon wakil rakyat kita.
Baliho mahasiswa tidak menggunakan tokoh-tokoh populer seperti Naruto, Obama, atau menggunakan slogan-slogan kitsch nan klenik seperti, “Pilih saya atau anda saya santet”, seperti banyak baliho wakil rakyat yang kemudian jadi makian massal di twitter. Kita boleh saja mengatakan bahwa iklan kampanye yang dirancang oleh mahasiswa untuk mahasiswa dari mahasiswa itu adalah iklan-iklan cerdas yang tidak memamah biak ketololan. Baliho dengan desain modern, minimal, portrait calon yang menonjol dengan latar belakang putih, slogan-slogan populis macam “Berjuang Menyatukan Perbedaan”, “Pengabdian Tanpa Batas” dan lain sebagainya.
Tetapi Bung dan Nona, perkara iklan kampanye sedari dulu adalah perkara yang sama. Ialah perkara ruang publik. Bung dan Nona pelaku kampanye tidaklah hidup dalam ruang hampa. Tidaklah hidup dalam sebuah galeri eksebisi tunggal dimana Bung dan Nona hidup sebagai protagonis tunggal. Bung dan Nona hidup dan berinteraksi dalam ruang yang dinamakan oleh Habermas sebagai public-spheres. Sebuah ruang sosial tempat individu bisa bebas berinteraksi dan mengidentifikasikan problema-problema sosial. Bung dan Nona tidak hidup sendiri di dalam kampus. Bung dan nona hidup berangkulan dengan hak-hak hidup orang lain dalam public-spheres ini. Hak kampanye Bung dan Nona tidaklah didapat dengan menginjak hak untuk mendapatkan kenyamanan visual orang lain.
Apa susahnya menjaga harmoni dengan –misalnya- mengonsentrasikan baliho-baliho yang tersebar tidak teratur tersebut pada satu ruang khusus yang dinamakan ruang kampanye. Ruang-ruang tersebut ada dalam tiap fakultas, bebas akses, sehingga orang-orang bisa melihat dan meresapi iklan-iklan kampanye Bung dan Nona. Tidak menghabiskan biaya banyak seperti harus mencetak beberapa baliho dalam ukuran megatron seperti yang umumnya kita saksikan. Cukup satu, dengan ukuran seragam, bersanding dengan baliho calon-calon lainnya. Mengapa yang murah dan mudah seperti ini tidak mampu kita laksanakan? Mengapa harus berlomba-lomba pada ukuran baliho mana yang paling besar? Bagi saya, perihal tersebut sama saja dengan berlomba-lomba pada dana kampanye siapa yang lebih banyak? Sejak kapan perkara pemilihan wakil mahasiswa direduksi menjadi sekedar balapan uang kampanye siapa yang paling banyak?
“Kalau ukurannya besar kan mengundang perhatian?” Logika eskapis ala-ala selebriti doyan sensasi ini sudah seperti borok, seperti sipilis, seperti penyakit-penyakit kemaluan lainnya. Penyakit yang memalukan, tapi tetap saja dipamerkan. Argumen tersebut hanya lari dari masalah utama: Membumikan politik kampus bukan sebagai permainan elit semata. Dengan dalih pragmatis yang seakan-akan solutif. Apatisnya banyak mahasiswa pada politik kampus tidak lepas dari logika-logika bebal yang diampu elit-elit politik kampus kita. Melalui metode kampanye saja kita bisa temui betapa pragmatis dan tidak kapabelnya elit-elit kita. Upaya untuk mendapatkan atensi melulu dilakukan dengan metode-metode primitif ala manusia kera. Sensasional, pragmatis, namun menuntut hasil yang maksimal. Sementara kampanye dengan kerja-kerja panjang dan visioner ditinggalkan. Betapa kita sebagai mahasiswa harus merayakan kontradiksi-kontradiksi yang kita tinggali ini.
Politik kampus masih dilihat sebatas kerja-kerja politik singkat dan terbatas. Dengan dalih periode kerja yang hanya setahun, argumen untuk visi-misi politik pun dibuat singkat dan terbatas. Seperti mimpi-mimpi busuk alamotivas-motivasi faux-pastoral yang jauh dari kenyataan. Menjanjikan go international, tapi hanya menguasai 4 tensesdalam grammar Bahasa Inggris. Menjanjikan upaya untuk mulai menghargai perbedaan tapi jauh dari isu-isu sektarian yang kian berkarat. Semua janji dan usaha yang dilakukan melulu sebatas kulit. Tidak pernah ada usaha untuk menyelami lebih dalam. Membicarakan dan mendiskusikan problema yang ada dalam situasi sosial-politik masyarakat, mencari solusi yang kiranya ideal, merancang kerja-kerja apa yang bisa dilakukan dalam kurun waktu sekian zaman. Metode-metode tersebut justru dijauhi. Sebab dianggap sebagai kerja yang panjang dan melelahkan. Dialihkan dengan metode-metode yang hanya berlaku selama satu periode lalu hilang ditelan periode berikutnya.
Seringkali saya jalan kaki ke kampus kalau tidak dapat tumpangan. Di musim pemilu seperti ini, saya hanya mendapatkan pemandangan dystopian ketika memasuki kampus. Seperti inilah dunia akademis paska-reformasi, pikir saya. Tidak ada lagi ancaman dan teror dari militer yang menyerang dan merajam pikiran kita. Yang ada sekarang adalah teror dan ancaman visual yang mengancam kedaulatan pikiran. Teror-teror itu menjelma visi-misi ilusif yang seakan-akan bisa tercapai tanpa kerja-kerja jangka panjang. Teror itu pula yang pada akhirnya mengonfigurasi bagaimana kita melihat peristiwa politik kampus hanya sebatas event tahunan yang dirancang oleh EO kota-kota besar. Sebuah kampanye yang memang sangat efektif untuk mencitrakan politik kampus sebagai festival lelucon besar. Baliho-baliho tersebut, pikir saya, adalah repsentasi situasi kita saat ini. Cerminan dystopia masa depan: Dunia sesudah kiamat tempat akal sehat tak punya tempat. Dunia yang dihidupi oleh manusia-manusia evolusioner yang berevolusi kembali menjadi manusia-kera. Simpatisan pragmatis dan eskapis yang membenci kerja-kerja panjang dan melelahkan.
Walaupun demikian Bung dan Nona, saya dan mungkin banyak mahasiswa lainnya menunggu apa yang Bung dan Nona akan lakukan dalam merespon peristiwa-peristiwa sosial yang hangat dan mutakhir akhir-akhir ini. Entah itu genosida ’65 dan pelarangan menonton Senyap di dalam kampus, ataupun peristiwa penembakan sekolah di Pakistan oleh militan Taliban. Terserah. Sebagai sesama intelektual karbitan, saya mengangkat gelas arak tinggi-tinggi untuk memberi hormat pada Bung dan Nona. Para martir bagi kesadaran politik kampus kita. Hidup mahasiswa! Hidup romantika ’98! Hidup omong kosong!
Pucing pala berbie~
*) Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011
(Visited 115 times, 1 visits today)
prook….prokk….prook…..