Lompat ke konten

MADARA: UU Nelayan Belum Akui Peran Perempuan Nelayan

Menyampaikan- pemantik menyampaikan gambaran nelayan perempuan dan memandu proses diskusi terbuka (PERSPEKTIF/Farida)

Malang, PERSPEKTIF Permasalahan utama dari kondisi pesisir Indonesia saat ini yaitu menutup mata dari peran perempuan nelayan. Padahal ketika berbicara iklim perekonomian nasional perempuan memegang kendali terhadap prduk-produk ikan dan kelautan. Persoalan tersebut dibahas oleh Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) melalui Mahasiswa Dialog Radikal (MADARA) dengan tema “Perempuan Nelayan”, Kamis (12/4) di Gazebo Gedung A FISIP.

Regulasi di Indonesia mengenai masyarakat pesisir diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Akan tetapi, regulasi tersebut dinilai belum ramah terhadap perempuan. Regulasinya tidak membahas unsur perempuan secara jelas, hanya fokus pada pekerja laki-laki.

“Saat ini tidak ada kata perempuan dalam Undang-Undangan tentang nelayan di Indonesia. Jadi yang dilindungi dalam Undang-Undang tersebut hanya sebatas laki-lakinya selebihnya gak ada,” terang Jagat Putra, mahasiswa Fakultas Ilmu Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK).

Wida Ayu Puspitosari, dosen Sosiologi FISIP UB mengungkapkan bahwa kebijakan di Indonesia masih memiliki ketimpangan. Merunjuk pada Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan perikanan No.16/PERMEN-KP/016 tentang Kartu Nelayan. Pada Permen tersebut belum memiliki kejelasan kepada perempuan sebagai nelayan. “Dalam konteks birokrasi, permen tersebut tidak memberikan peraturan khusus untuk melindungi perempuan. Padahal perempuan juga ikut melaut, tapi perempuan tidak diakui sebagai nelayan. Memang membahas tentang keluarga nelayan, tapi isinya masih banyak yang bias juga.” terang Wida Ayu.

Lebih lanjut lagi Jagat mengkritisi terkait pemberian kartu jaminan nelayan hanya diperuntukkan kepada nelayan laki-laki. Hal terebut dinilai bertentangan dengan tujuan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia jika mengesampingkan peran perempuan. “Asuransi yang diberikan kepada nelayan pada pemerintahan Jokowi hanya ditujukan pada laki-laki. Padahal seperti yang kita tahu tugas perempuan nelayan jauh lebih besar dibandingkan nelayan laki-laki. Akan susah mencapai negara poros maritim dunia jika perempuan nelayan tidak diberikan jaminan dan regulasi yang mengaturnya,” terang Jagat.

Wida Ayu juga menanggapi terkait pemberian asuransi kecelakaan saat melaut yang hanya diberikan pada laki-laki. “Pemberian asuransi kecelakaan saat melaut hanya untuk laki-laki menunjukan adanya gap dalam memutuskan kebijakan. Cara pandang kita bahwa nelayan, petani itu adalah laki-laki menentukan tindakan yang akan diambil. Dalam konteks makro, negara pun menjadi ketularan. Karena memang negara kita dalam menentukan kebijakan juga masih bias gender,” jelas Wida Ayu.

Jagat Putra berharap kabar pesisir yang sudah tidak pernah ada akan digaungkan kembali dalam diskusi-diskusi di lingkungan akademik. Begitpun demgam Wida Ayu, ia berharap ke depannya ada sebuah produk ilmiah yang mengkaji konteks rumah tangga nelayan. Karena kajian tersebut masih tergolong sedikit. (frd/rkd/wur )

(Visited 188 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?