Lompat ke konten

13 Tahun Kasus Munir, Gugat Ketidakadilan Lewat Seni dan Toleransi

SYAHDU– Penampilan musikalisasi puisi oleh Hankestra dalam acara peringatan 13 Tahun Pembunuhan Munir, Café Pustaka UM, Malang. (7/9). (PERSPEKTIF, Atni)

Malang, PERSPEKTIF – Peringatan 13 tahun kematian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib gencar dilakukan oleh beberapa komunitas pegiat HAM di Kota Malang. Salah satunya acara yang diselenggarakan oleh Omah Munir di Café Pustaka, Kompleks Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Malang (UM), Kamis sore (7/9). Berbeda, acara yang bertajuk “Peringatan 13 Tahun Pembunuhan Munir, Maklumat Munir: Menyeru Keadilan, MerawatToleransi” ini menyajikan konsep berbagai pertunjukan seni dan doa bersama dari lintas agama sebagai bentuk toleransi dan perjuangan HAM yang lebih luas.

“Kita hadir saat ini bukan hanya untuk mengenang seorang Munir. Tapi merawat ingatan kebiadaban sebuah rezim yang abai pada martabat manusia, pada kemanusiaan. Kita memperjuangkan hak martabat manusia, bukan hanya Munir. HAM itu bisa diperjuangkan oleh siapa pun,” ungkap Lutfhi J. Kurniawan, dalam sambutanya selaku salah satu perwakilan dari Omah Munir.

Selain itu, Teguh Dwi Imanda, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UM, mengungkapkan pihaknya diajak bekerjasama oleh Omah Munir bersama  KP3 dan Café Pustaka, untuk mengingatkan kembali terkait sosok Munir sebagai pejuang keadilan yang kasus pembunuhanya 13 tahun silam diracun di udara dan belum terselesaikan.

“Kami ingin mengingatkan kembali peristiwa Munir dengan cara yang soft, tidak terlalu sarkas, tidak terlalu keras. Melalui cara seperti itu, kami yakin banyak teman-teman yang berniat kesini. Dengan seni kami yakin dapat menyentuh banyak lapisan masyarakat,” ungkap Teguh setelah acara tersebut selesai.

Dalam acara ini disuguhkan penampilan seni seperti tarian khas daerah, musik akustik, musikalisasi puisi dan mural kaus. Selain itu, turut hadir lima tokoh agama berbeda, yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha untuk acara doa bersama di akhir acara.

“Sebenarnya kami mengundang enam tokoh agama. Sayangnya perwakilan dari agama Kong Hu Cu berhalangan hadir. Pesan yang ingin kami sampaikan adalah menyeru keadilan itu sebenarnya juga merawat toleransi. Ketika menyeru keadilan harus dijunjung tinggi,  toleransi adalah suatu hal yang wajib juga,” terang Teguh, mahasiswa jurusan Geografi tersebut.

Andhika Yudha Pratama, salah satu yang hadir di acara tersebut, menanggapi konsep berbeda  yang dilakukan untuk acara peringatan 13 Tahun Munir.

“Memang konsepnya biar lebih ringan dan mengena, menggunakan pendekatan budaya yang lebih fleksibel. Kebetulan saja tahun ini pas dengan sesuatu yang sedang hangat terkait berita tentang toleransi. Itu sebenarnya khas keberagaman, cair,”  papar Yudha. (ank/zil)

(Visited 279 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?