Oleh: Rifqy Zeydan*
Beberapa waktu yang lalu sempat viral di media sosial kejadian seorang guru yang dihajar oleh wali murid akibat anaknya mengaku dipukul oleh gurunya. Kejadian yang sama juga terjadi di sebuah universitas di Sumatera Utara. Seorang mahasiswa membunuh dosennya karena masalah skripsi. Beberapa kasus serupa juga dialami oleh pendidik di beberapa daerah di indonesia, seorang guru dituntut karena menghukum anak didik mereka. Maraknya kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap guru membuat mereka tidak memiliki otoritas terhadap anak didiknya. Sehingga guru merasa terancam ketika menghukum anak didik mereka ketika meraka berbuat salah. Tak jarang anak didik menjadi tidak beretika ketika berinteraksi dengan guru karena mereka merasa dilindungi oleh undang-undang.
Etika yang berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti “karakter” yang digunakan untuk menggambarkan keyakinan atau ide yang menjadi ciri masyarakat, bangsa, atau ideologi. Franz Magnis Suseno (1990) menyebutkan bahwa etika termasuk dari filsafat moral. Orang yang memiliki etika adalah sanggup memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Keadaan tersebut akan tercapai jika manusia sepi ing pamrih, bebas dari penguasaan oleh kekuatan-kekuatan irrasional (nafsu) dan segala macam emosi atau dalam bahasa jawanya pamrih.
Etika merupakan dasar dari pembentukan karakter seorang mahasiswa. Seorang mahasiswa yang berkarakter juga memiliki etika yang baik. Mahasiswa harus menerapkan etika dengan baik seperti berkomunikasi dan menghormati dosen sebagai pendidik.
Dalam kitab ta’limul muta’alim, kitab kuning yang membahas tentang hubungan murid dan guru, pernah disebutkan, seorang pelajar tidak akan memperoleh kesuksesan ilmu dan ilmunya tidak bermanfaat, jika tidak menghormati ilmu itu sendiri, ahli ilmu, dan menghormati kemuliaan gurunya. Ali bin Abi Thalib mengumpamakan seorang murid itu sebagai hamba sahaya orang yang telah mengajarinya walau satu huruf. Orang yang mengajarinya bisa menjualnya maupun memerdekakannya atau tetap menjadi hambanya.
Sebagai mahasiswa, beretika tak hanya menghormati guru, namun dalam etika akademik. Ada prinsip-prinsip dasar yang menjadi pegangan menjalani kehidupan di kampus. Setiap perguruan tinggi memiliki kode etik yang tidak boleh dilanggar. Seseorang akan tercela sebagai civitas akademik apabila dia melakukan hal tersebut.
Tanggungjawab ilmiah civitas akademik seperti berfikir berlandaskan kebenaran, rasional, objektif dan kritis serta enam sikap akademik termasuk dalam etika akademik. Hal tersebut menjadi acuan bagi mahasiswa untuk beretika di dalam kehidupan akademik. Penyimpangan dari etika akademik bisa berdampak kepada masyarakat luas. Ketika seorang akademisi mempublikasikan penelitiannya yang tidak obyektif, bisa menjadi dampak negatif bagi mas yarakat.
Oleh karena itu, mahasiswa seharusnya mampu beretika dalam kehidupan akademik, baik sikap dan tanggungjawab ilmiah, maupun menghormati dosen sebagai pendidik. Karena dengan beretika yang baik mampu menciptakan sumber daya manusia yang baik.
*) Penulis merupakan mahsiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya 2014. Saat ini aktif berproses di divisi Redaksi LPM Perspektif.